
Allah sepertinya menginginkan manusia menyambut (bulan) Al-Qur'an dengan ibadah puasa. Dan sekaligus agar manusia memahami bahwa ada keterkaitan erat antara puasa Ramadhan dan Al-Qur'an. Konsekuensi logis ini semakin sejalan, jika kita melihat aktifitas Ramadhan Rasulullah dan para sahabat. Setidaknya, ada dua hal yang mereka lakukan dalam menyikapi Al-Qur'an ketika Bulan Suci Ramadhan. Pertama, mereka senantiasa memperbanyak membaca Al-Qur'an pada bulan tersebut untuk mengulang bacaan Al-Qur'an. Tepatnya, Ramadhan menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai ajang penyampaian informasi wahyu baru yang diterima secara berkesinambungan. Sehingga cara seperti ini membantu para sahabat dalam menghapal Al-Qur'an, di mana Rasul sebagai korektor kesalahan qira’ah (bacaan) mereka. Pada akhirnya, Al-Qur'an terpatri kuat dalam setiap hafalan para sahabat.
Kedua, moment Ramadhan juga mereka jadikan sebagai ajang forum diskusi dengan Rasulullah Saw tentang berbagai masalah hukum dalam kehidupan, sekaligus memahami makna ayat-ayat Al-Qur'an secara detail dan akurat. Dengan demikian, dari sisi historis, ada dua aktifitas yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, aspek tilawah juga tela’ah. Namun ironisnya, semangat memadukan dua aspek ini masih minim dalam kontek kekinian, khususnya di bulan Ramadhan. Penciutan makna tadarus Al-Qur'an hanya sebatas membaca dan menyimak, belum pada aspek memahami, yang melibatkan kekuatan rasionalitas dalam bentuk kajian ilmiah. Walaupun aspek tilawah saja tidaklah salah, sebab dalam pandangan Islam, membaca Al-Qur'an adalah zikir dan ibadah. Bahkan sebaik-baik zikir adalah membaca Al-Qur'an. Karena semua zikir ada di dalamnya. Sabda populer nabi juga memang ada menyebutkan: “Terangilah rumah tangga kalian dengan membaca Al-Qur'an”, tetapi kesempurnaan akan semakin tercapai, jika dua aspek ini berlaku seimbang. Membaca Al-Qur'an (Tilawatil Quran) akan semakin sempurna dengan aspek kajian dan kupasan Al-Qur'an (Thilawa’atil Quran), sehingga Al-Qur'an dapat dipahami secara konprehensif. Kalau dua hal ini diterapkan, akhirnya, tujuan Al-Qur'an bagi seorang Muslim menyentuh substansi kehidupan, yakni sebagai pedoman hidup dan tolak ukur dalam bersikap. Sebab Rasululullah Saw sendiri ada menyebutkan:”Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan menyampaikannya kepada orang lain” (HR.Muslim).
Puasa Ramadhan dan Al-Qur'an
Keterkaitan Ramadhan dengan Al-Qur'an sangatlah erat. Hubungan tersebut ibaratkan membentuk satu hubungan siklikal. Yakni hubungan melingkar yang berputar tanpa putus-putus. Hal ini dapat kita amati dalam beberapa hal. Pertama, yang dipanggil Tuhan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan, terbatas hanya pada mereka yang beriman. Al-Qur'an menyebutkan:”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa”(QS.Al-Baqarah:183). Kedua, Tujuan ritual dan spiritual puasa adalah takwa. Al-Qur'an menyebutkan, la’allakum tattaquun, “mudah-mudahan (dengan puasa itu) kalian bertakwa”(QS.2:183). Hal yang bisa menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup (way of life hudan ), yaitu bisa menaklukkan dan mengorbankan seluruh kepentingan pribadi, suku, golongan, partai dan mazhabnya dihadapan altar kebenaran lalu bertindak menurut Al-Qur'an hanyalah orang yang bertakwa. Sikap takwa merupakan driving force (kekuatan pendorong) yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup (way of life) dalam kehidupan Muslim. Al-Qur'an menyebutkan: “Itulah Kitab Suci (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya, hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS.2: 2).
Fakta-fakta ini menjelaskan, betapa erat kaitannya antara puasa Ramadhan dan Al-Qur'an. Sistem siklikal antara Al-Qur'an dan puasa menimbulkan iman dan takwa, ibaratkan roda yang senantiasa berputar. Semakin lama roda berputar, semakin kuat pula bagian-bagian sistem tersebut. Paling tidak inilah idealnya. Dan selama idealitas itu belum terwujud, maka selama itu pula ada sesuatu yang salah dalam Ramadhan kita. Dalam prosesnya, puasa Ramadhan merangsang kita menjadi seorang Muslim yang hanif melalui kesadaran kembali kepada Al-Qur'an. Artinya, Ramadhan ingin ‘membumikan’ tujuan Al-Qur'an dalam tiap detak langkah kehidupan Muslim secara bertahap. Saya sengaja memblok tebal kata-kata yang berhubungan dengan fungsi-fungsi Al-Qur'an yang ada disebutkan dalam Kitab Suci kita tersebut. Ketika seorang Muslim menjadikan Kitab Suci sebagai quran (bacaan) yang dibutuhkan, maka akan lahirlah hubungan emosional. Hubungan emosional ini menyebabkan iman seorang muslim semakin bertambah manakala mendengar ayat-ayat dari Kitab Suci dibacakan, sehingga Kitab Suci baginya menjadi syifaa’ (penawar berbagai penyakit hati).Pada akhirnya, muncul dalam diri orang yang berpuasa suatu kekuatan moral dan akhlak yang disebut furqan, yakni kemampuan untuk bersikap komit, konsisten dan konsekuen dalam menyikapi yang hak dan batil, yang halal dan yang haram, yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, puasa Ramadhan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Alangkah anehnya, jika di bulan Ramadhan sekalipun yang dikenal sebagi bulan Al-Qur'an, kita tidak membaca Al-Qur'an. Bahkan lebih aneh lagi kalau kita senantiasa berpuasa Ramadhan, namun ‘penghargaan’ atas diturunkannya Al-Qur'an di bulan Ramadhan, yakni kegiatan membaca Al-Qur'an kita abaikan. Ramadhan yang diperingati sebagai bulan turunnya Al-Qur'an, seyogyanya kita hidupkan dengan memperbanyak melakukan kegiatan Al-Qur'an. Dari akar kata yang satu dengan iqra’ (bacalah), yaitu dengan fi’il amr (kata kerja perintah) dari kata qara’a (membaca), kita seharusnya sudah paham, bahwa Al-Qur'an memang untuk dibaca dalam kehidupan Muslim. Alangkah naifnya kita menamakan dan mengakui Al-Qur'an sebagai kitab suci kita, tetapi kita tidak pernah membacanya. Al-Qur'an bukan hanya baru dibaca ketika ada hajatan seperti perkawinan, syukuran dan kematian, melainkan menjadikan Al-Qur'an sebagai kebutuhan dalam menyirami kegersangan hati kita. Sudah tentu, membaca Al-Qur'an sebaiknya dengan memahaminya dari berbagai segi. Aspek tela’ah mampu memberikan kita pencerahan keimanan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh M. Lukman Hakim Hasibuan, MA
Kedua, moment Ramadhan juga mereka jadikan sebagai ajang forum diskusi dengan Rasulullah Saw tentang berbagai masalah hukum dalam kehidupan, sekaligus memahami makna ayat-ayat Al-Qur'an secara detail dan akurat. Dengan demikian, dari sisi historis, ada dua aktifitas yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, aspek tilawah juga tela’ah. Namun ironisnya, semangat memadukan dua aspek ini masih minim dalam kontek kekinian, khususnya di bulan Ramadhan. Penciutan makna tadarus Al-Qur'an hanya sebatas membaca dan menyimak, belum pada aspek memahami, yang melibatkan kekuatan rasionalitas dalam bentuk kajian ilmiah. Walaupun aspek tilawah saja tidaklah salah, sebab dalam pandangan Islam, membaca Al-Qur'an adalah zikir dan ibadah. Bahkan sebaik-baik zikir adalah membaca Al-Qur'an. Karena semua zikir ada di dalamnya. Sabda populer nabi juga memang ada menyebutkan: “Terangilah rumah tangga kalian dengan membaca Al-Qur'an”, tetapi kesempurnaan akan semakin tercapai, jika dua aspek ini berlaku seimbang. Membaca Al-Qur'an (Tilawatil Quran) akan semakin sempurna dengan aspek kajian dan kupasan Al-Qur'an (Thilawa’atil Quran), sehingga Al-Qur'an dapat dipahami secara konprehensif. Kalau dua hal ini diterapkan, akhirnya, tujuan Al-Qur'an bagi seorang Muslim menyentuh substansi kehidupan, yakni sebagai pedoman hidup dan tolak ukur dalam bersikap. Sebab Rasululullah Saw sendiri ada menyebutkan:”Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan menyampaikannya kepada orang lain” (HR.Muslim).
Puasa Ramadhan dan Al-Qur'an
Keterkaitan Ramadhan dengan Al-Qur'an sangatlah erat. Hubungan tersebut ibaratkan membentuk satu hubungan siklikal. Yakni hubungan melingkar yang berputar tanpa putus-putus. Hal ini dapat kita amati dalam beberapa hal. Pertama, yang dipanggil Tuhan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan, terbatas hanya pada mereka yang beriman. Al-Qur'an menyebutkan:”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa”(QS.Al-Baqarah:183). Kedua, Tujuan ritual dan spiritual puasa adalah takwa. Al-Qur'an menyebutkan, la’allakum tattaquun, “mudah-mudahan (dengan puasa itu) kalian bertakwa”(QS.2:183). Hal yang bisa menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup (way of life hudan ), yaitu bisa menaklukkan dan mengorbankan seluruh kepentingan pribadi, suku, golongan, partai dan mazhabnya dihadapan altar kebenaran lalu bertindak menurut Al-Qur'an hanyalah orang yang bertakwa. Sikap takwa merupakan driving force (kekuatan pendorong) yang menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup (way of life) dalam kehidupan Muslim. Al-Qur'an menyebutkan: “Itulah Kitab Suci (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya, hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS.2: 2).
Fakta-fakta ini menjelaskan, betapa erat kaitannya antara puasa Ramadhan dan Al-Qur'an. Sistem siklikal antara Al-Qur'an dan puasa menimbulkan iman dan takwa, ibaratkan roda yang senantiasa berputar. Semakin lama roda berputar, semakin kuat pula bagian-bagian sistem tersebut. Paling tidak inilah idealnya. Dan selama idealitas itu belum terwujud, maka selama itu pula ada sesuatu yang salah dalam Ramadhan kita. Dalam prosesnya, puasa Ramadhan merangsang kita menjadi seorang Muslim yang hanif melalui kesadaran kembali kepada Al-Qur'an. Artinya, Ramadhan ingin ‘membumikan’ tujuan Al-Qur'an dalam tiap detak langkah kehidupan Muslim secara bertahap. Saya sengaja memblok tebal kata-kata yang berhubungan dengan fungsi-fungsi Al-Qur'an yang ada disebutkan dalam Kitab Suci kita tersebut. Ketika seorang Muslim menjadikan Kitab Suci sebagai quran (bacaan) yang dibutuhkan, maka akan lahirlah hubungan emosional. Hubungan emosional ini menyebabkan iman seorang muslim semakin bertambah manakala mendengar ayat-ayat dari Kitab Suci dibacakan, sehingga Kitab Suci baginya menjadi syifaa’ (penawar berbagai penyakit hati).Pada akhirnya, muncul dalam diri orang yang berpuasa suatu kekuatan moral dan akhlak yang disebut furqan, yakni kemampuan untuk bersikap komit, konsisten dan konsekuen dalam menyikapi yang hak dan batil, yang halal dan yang haram, yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, puasa Ramadhan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Alangkah anehnya, jika di bulan Ramadhan sekalipun yang dikenal sebagi bulan Al-Qur'an, kita tidak membaca Al-Qur'an. Bahkan lebih aneh lagi kalau kita senantiasa berpuasa Ramadhan, namun ‘penghargaan’ atas diturunkannya Al-Qur'an di bulan Ramadhan, yakni kegiatan membaca Al-Qur'an kita abaikan. Ramadhan yang diperingati sebagai bulan turunnya Al-Qur'an, seyogyanya kita hidupkan dengan memperbanyak melakukan kegiatan Al-Qur'an. Dari akar kata yang satu dengan iqra’ (bacalah), yaitu dengan fi’il amr (kata kerja perintah) dari kata qara’a (membaca), kita seharusnya sudah paham, bahwa Al-Qur'an memang untuk dibaca dalam kehidupan Muslim. Alangkah naifnya kita menamakan dan mengakui Al-Qur'an sebagai kitab suci kita, tetapi kita tidak pernah membacanya. Al-Qur'an bukan hanya baru dibaca ketika ada hajatan seperti perkawinan, syukuran dan kematian, melainkan menjadikan Al-Qur'an sebagai kebutuhan dalam menyirami kegersangan hati kita. Sudah tentu, membaca Al-Qur'an sebaiknya dengan memahaminya dari berbagai segi. Aspek tela’ah mampu memberikan kita pencerahan keimanan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh M. Lukman Hakim Hasibuan, MA